IRI HATI (Ditinjau Dari Character Building Perspektif Islami Sebagai Solusinya)

Fithri Choirunnisa Siregar, M.Psi

Dosen Psikologi

Permasalahan konflik sosial antar individu, kelompok dan golongan yang semakin banyak terjadi di berbagai belahan daerah, baik di Indonesia bahkan di dunia, telah membawa keprihatinan berkepanjangan karena semakin lama situasinya semakin parah bahkan sulit menemukan akar permasalahan agar dapat dicari solusi yang tepat untuk menanganinya.

Halaman 1

Halaman 2

Halaman 3

Halaman 4

Beberapa pengkajian secara intensif melalui beberapa pendekatan dalam ilmu sosial menemukan bahwa konflik sosial berasal dari implikasi ketidakharmonisan dinamika psikologis yang berakar dari  kondisi sosial-emosional individu didalamnya. Salah satu penyebab kondisi ketidakharmonisan sosial-emosional individu dalam fenomena sosial yang dapat ditemukan adalah penyakit batin yaitu Iri Hati.

Iri Hati akan dapat memunculkan masalah serius karena memiliki muatan emosi negatif, tidak hanya dapat mengakibatkan kondisi relasi sosial yang buruk bahkan juga dapat berkembang lebih parah lagi apabila bercampur dengan muatan emosi negatif lainnya sehingga dapat menimbulkan energi yang besar untuk menghancurkan situasi tenang dan nyaman sekitarnya. Salah satu ciri dan dinamika psikologis yang sederhana adalah “senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang”. Perasaan iri pada individu umumnya hanya berupa lintasan didalam hati saja dan normal dimiliki oleh setiap manusia yang tidak pernah luput dari salah dan lupa. Tetapi jika terus diikuti perasaan ini akan menimbulkan masalah baru yaitu Dengki karena muncul berupa lonjakan emosi bahkan perilaku hingga menjadi Iri Dengki.

Iri-Dengki dapat dianalisa melalui pendekatan Character Building karena melalui pemahaman dari sisi psikologi tentang bagaimana emosi ini dapat muncul pada diri seseorang yang jika terjadi berulang-ulang bahkan menjadi suatu kebiasaan, akan menjadi karakter atau akhlak yang tercela jika tidak mampu mengatasinya dengan baik dan secara positif berupaya mencari solusinya. Setelah melalui pemahaman psikologis dalam Character Building secara umum, Iri-Dengki akan dapat diatasi dengan baik jika dikaji melalui pendekatan Islam karena kondisi sosial-emosional yang tidak harmonis pada umumnya berakar dari  faktor kelemahan internal (jiwa) yang diperparah oleh stimulus ekternal (lingkungan) yang tidak mendapatkan penanganan kesadaran beragama dengan baik. Berikut ini akan dihantarkan pemahaman yang sinergis agar dapat dipahami  secara bersama.

Kata Iri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dipadankan dengan istilah cemburu atau sirik. Cemburu dapat terjadi ketika muncul perasaan negatif (tidak senang) kepada orang lain yang disebabkan permasalahan kasih sayang yang diperlihatkan orang tersebut kepada pihak ketiga dan umumnya terjadi pada kisah yang berkaitan dengan hubungan afektif dalam keluarga, romantis dan percintaan. Sedangkan sirik dapat didefinisikan sebagai perasaan senang karena pihak lain mengalami kondisi perasaan negatif atau tertimpa kesulitan yang tidak menyenangkan. Diberbagai kajian psikologi pengertian sirik dalam bahasa Indonesia ini memiliki kesamaan pemahaman dengan Schadenfraude. Schadenfraude adalah kata majemuk dari kata Jerman Schaden, yang berarti kerugian, dan Fraude, yang berarti suka cita, dan digunakan saat ini sebagai kata pinjaman dalam bahasa Inggris. Pada tahun 1895, Oxford English Dictionary (OED) memasukkan Schadenfraude sebagai entri dan mendefinisikan sebagai “kenikmatan jahat atas kemalangan orang lain”. Dalam bahasa Inggris, Schadenfraude memiliki persamaan istilah dengan Envy yang didefinisikan sebagai perasaan tidak senang atau sakit karena kesenangan pihak lain atau orang lain memiliki sesuatu yang membuat seseorang juga menginginkan benda yang sama (Faturochman, 2015).

Iri-Dengki tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada perbandingan individu dengan orang lain khususnya yang mendapatkan tempat menjadi sasaran perasaan Iri Hati. Hal ini menunjukkan bahwa perasaan Iri sangat terkait dengan bagaimana seseorang memandang orang lain  dan kemudian membandingkannya dengan apa adanya diri individu sendiri. Iri Hati akan muncul ketika seseorang berkeinginan untuk memperoleh keuntungan sama seperti yang diperoleh orang lain. Iri Hati juga berkaitan dengan perasaan rendah diri yang disebabkan karena adanya strata atau perbandingan social yang tidak menguntungkan atau menyenangkan bagi sebagian individu dan menyebabkan munculnya evaluasi diri yang negatif.

Dengki merupakan lanjutan dari Iri yang bermakna adanya intense atau upaya individu untuk membuat orang lain yang menjadi subjek Iri mengalami kondisi yang negative.

Iri Dengki (Schadenfraude atau Envy) dapat dikategorikan sebagai kesenangan yang tidak khas pada individu (Abdillah, 2019), karena ada individu yang merasakan kesenangan justru ketika orang lain merasakan susah atau sedih. Dalam Appraisal Theory, dapat dijelaskan bahwa kondisi perasaan Iri Dengki berasal dari emosi yang diekstraksi dari evaluasi individu terhadap peristiwa yang dialami sebelumnya sehingga menyebabkan reaksi spesifik dan berbeda dari orang lain pada umumnya. Begitu juga melalui penjelasan dalam Emotional Evaluation Theory, tentang bagaimana peristiwa yang sama dapat membangkitkan emosi yang berbeda pada orang yang berbeda, dan mengapa ada peristiwa yang berbeda dapat membangkitkan emosi yang sama pada sebagian orang.

Iri Dengki mendorong realisasi diri individu untuk menyamai subyek yang diperhatikan, tapi karena tidak sama intensitasnya, menyebabkan frustasi bahkan kebencian yang mendorong timbulnya reaksi balas dendam (Abdillah, 2016).

Iri-Dengki atau Schadenfraude dapat muncul jika didorong oleh perasaan benci, bukan hanya sekedar Iri Hati semata.  Banyak kasus Bullying bahkan Kekerasan Seksual yang berakar dari Iri Dengki akibat frustasi dan trauma permasalahan masa lalu yang tidak dapat diatasi dengan baik oleh diri sendiri atau dengan bantuan orang lain.

Sebagai contoh, ada individu A yang sedang mengalami peristiwa tidak menyenangkan berupa mendapatkan teguran dari atasannya dan terancam mendapatkan pemecatan secara tidak hormat jika tidak berusaha untuk berubah, A merasakan kesedihan dan khawatir atas ujian kehidupan yang dihadapinya saat itu. Disaat yang bersamaan individu B melihat dan memperhatikan kondisi A justru memiliki perasaan senang dan bahkan tertawa didalam hati hingga berkata “mampus kamu kena batunya” (Appraisal Theory). B pernah mengalami kondisi yang sama sebelumnya dan menganggap bahwa A pantas mendapatkan perlakuan seperti itu (Emotional Evaluation Theory) tetapi ternyata tidak berupaya berperilaku positif untuk memberikan nasehat dan motivasi  agar A berubah. B juga ternyata merasakan perasaan kesal bahkan benci (Schadenfraude/Envy) ketika melihat kenyataan bahwa A mau berusaha berubah dan memperbaiki kesalahannya dengan meminta maaf kepada atasan kemudian berjanji akan memperbaiki kinerjanya di masa mendatang. B mengalami kekecewaan yang terus-menerus sehingga berada dalam keadaan tidak produktif karena luka hati yang dirasakannya bahkan akan dapat terancam mengalami penyakit komplikasi karena sesungguhnya membutuhkan vitamin yang mujarab untuk mengatasi penyakit hatinya yaitu ilmu (Gymnastiam, 2006).

Secara fitrah, individu akan selalu terdorong untuk melakukan sesuatu yang baik, benar dan indah (Jalaluddin, 2015). Namun, terkadang naluri mendorong manusia untuk segera memenuhi kebutuhannya yang terkadang bertentangan dengan realita yang ada. Ketika ada individu yang memiliki kebutuhan untuk diakui dan dihargai (self esteem), tetapi akibat kesalahannya terdahulu membuat orang lain tidak sanggup memberikan penghargaan yang diinginkan oleh individu tersebut (realita), maka timbul dorongan rasa kecewa, iri bahkan dengki (perasaan yang ekspansif dan sentrifugal) dan bukannya intropeksi diri (sentripetal). Jika perasaan Iri-Dengki diwujudkan, maka ego (Aku sadar) akan merasa bersalah karena didalam hati individu tersebut secara fitrah mendapatkan hukuman dari ego-ideal (norma yang terbentuk dalam batin oleh norma masyarakat maupun agama). Sebaliknya, jika dorongan Iri-Dengki disimpan rapat-rapat didalam hati dan tidak diwujudkan kedalam perilaku merusak seperti fitnah dan adu-domba, maka ego akan mendapatkan penghargaan dari hati nurani yang paling dalam dari individu tersebut.

Iri Dengki tidak akan banyak berimplikasi buruk pada relasi sosial individu bila ada factor penghambat atau penertal dari kondisi perasaan pada saat itu. Salah satunya adalah altruisme. Iri-Dengki dan Altruisme memiliki kutub yang saling berlawanan namun dapat bersimbiose jika karakter altruisme yang muncul kemudian dapat membuat individu yang pada awalnya hanya merasakan iri bahkan dengki, kemudian merasakan kerelaan bahwa setiap orang berhak bahagia dan bahkan berjuang membantu orang lain untuk bahagia. Kebahagiaan orang lain akan menjadi kebahagiaan milik individu ketika memiliki keterlibatan dalam proses perjuangan orang lain. Namun sebaliknya, jika kerelaan dalam altruisme individu justru tertutup menjadi sifat Iri-Dengki bahkan didukung oleh factor kebencian terhadap kebahagiaan orang lain sehingga menjadi karakter buruk yang menetap dan membuat individu dapat selalu merasa tidak nyaman bahkan menderita ketika orang lain bahagia. Kembali kepada pribadi individu masing-masing, termasuk kedalam bagian yang mana dalam topic Iri-Dengki ini.

ANALISA IRI-DENGKI DITINJAU OLEH PERSPEKTIF CHARACTER BUILDING ISLAMI SEBAGAI SOLUSI

Setiap manusia dalam hidupnya akan mengalami perubahan atau perkembangan, baik perubahan yang bersifat nyata atau yang menyangkut perubahan fisik, maupun perubahan yang bersifat abstrak atau perubahan yang berhubungan dengan aspek psikologis. Perubahan ini dipengaruhi pleh beberapa faktor, atau yang berasal dari luar (eksternal) baik yang berasal dari dalam diri manusia (internal). Faktor-faktor itulah yang akan menentukan apakah proses perubahan manusia mengarah kepada hal-hal yang positif atau sebaliknya mengarah kepada perubahan yang bersifat negatif. Disadari bahwa karakter/akhlak/moral yang dimiliki manusia bersifat fleksibel atau luwes serta bisa dirubah atau dibentuk. Karakter/akhlak/moral manusia suatu saat bisa menjadi baik tetapi pada saat yang lain sebaliknya dapat menjadi jahat. Perubahan ini tergantung bagaimana proses interaksi dan sifat alami yang dimiliki manusia dengan kondisi lingkungan, sosial budaya, pendidikan dan alam.

Karakter individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Teori Tabularasa dalam psikologi perkembangan menyatakan bahwa setiap manusia yang terlahir kedunia memiliki potensi bawaan yang dimanifestasikan dalam perjalanan kehidupannya, termasuk potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan. Oleh karena itu, sosialisasi dan pendidikan sejak dini yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas, sangat penting dalam pembentukan karakter. Apabila gagal menanamkan nilai-nilai kebajikan pada anak di usia dini, maka anak tersebut akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.

Keluarga memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan karakter anak menuju masa depannya. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun nilai sosial budaya yang diberikan merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan pribadi generasi penerus yang sehat. Keluarga juga dipandang sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadian anak dan pengembangan ras manusia. Apabila dikaitkan peranan keluarga dengan kebutuhan individu dari Maslow, maka keluarga menjadi lembaga pertama yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut baik kebutuhan fisik biologis maupun sosio-psikologis. Keluarga adalah komunitas pertama dimana manusia sejak usia dini mempelajari konsep baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah.

Peran orangtua didalam keluarga berguna untuk meletakkan dasar-dasar pendidikan moral agama dan akhlak memang sangat penting. Bahkan dalam ajaran Islam dikemukakan bahwa, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang bertanggungjawab apakah anak itu (nantinya) akan menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Demikian dominannya pengaruh kedua orangtua dalam pembentukan dasar-dasar agama. Bahkan pengaruh tersebut sampai pada dasar keyakinan (akidah). Keberagamaan anak hampir sepenuhnya ditentukan oleh pengaruh orangtua. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sigmund Freud sebagai father image (citra bapak). Citra bapak (father image) merupakan patron (pola) dalam pembentukan dasar keagamaan dalam diri anak sejak kecil. Jika dalam kehidupan bermasyarakat figure bapak menampilkan sikap yang ikhlas dalam menghargai perbedaan nikmat rezeki dalam lingkungannya, menyingkirkan rasa Iri-Dengki dengan lebih banyak bersyukur dan berikhtiar secara positif, maka anak-anak akan menginternalisasi nilai-nilai agama yang menjadi teladan dalam kehidupannya. Citra bapak yang didampingi oleh peran ibu sebagai penyejuk dan penyeimbang kehidupan dalam rumah tangga harus seimbang, selaras seiring dan sejalan. Orangtua diharapkan tidak memiliki sifat-sifat negatif yang dapat menimbulkan keteladanan yang negatif pula dalam menanamkan nilai dan tata perilaku anak dalam mempersiapkan kehidupannya sendiri di masa yang akan datang.

Didalam keluarga, sejak individu mulai sadar dengan lingkungannya, disaat ini sangat penting untuk mendapatkan pelajaran tata nilai atau nilai moral, karena nilai moral yang benar-benar diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluarga letak pendidikan karakter dimulai. Salah satunya melalui pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri anak. Menurut pendekatan ini (Mahmud, 2013), pendidikan nilai diberikan agar anak dapat memahami nilai-nilai kehidupan mana yang baik untuk ditanamkan pada diri dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan dan mana yang sebaiknya tidak dimiliki bahkan dilaksanakan.

Agama Islam memiliki kecenderungan kuat  untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan program-program pendidikan agama. Bagi umat Islam, agama merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak. Pada sisi lain, nilai-nilai agama harus diterima oleh hati dan dipercaya dalam setiap nafas kehidupan. Sehingga proses pendidikannya harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus benar-benar diajarkan sejak dini, diterima dan diyakini kebenarannya oleh pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama dan individu yang memilikinya akan memiliki ciri-ciri sehat secara lahiriah dan batiniah.

Individu yang memiliki sehat jiwa dapat menghayati segala bentuk ajaran Islam secara optimis karena berpandangan bahwa hasil payahnya adalah pemberian dari Allah SWT melalui perantaraan manusia disekitarnya, tetapi tidak sebaliknya jika ia tidak mendapatkan keinginannya, bukan salah orang-orang disekitarnya melainkan bahwa Allah tidak berkenan saat itu dan memberikan pada waktu dan cara yang tepat. Individu akan merasakan memiliki perasaan yang hangat dan terbuka, selalu optimis terhadap keberhasilan maupun kegagalan.

KESIMPULAN

Iri-Dengki akan dapat timbul dari perasaan individu yang bermula dari hadirnya rasa Iri Hati melihat kesuksesan dan kebahagiaan orang lain, yang kemudian bercampur dengan unsur perasaan negatif lainnya yaitu dengki, benci, bahkan dendam sehingga melakukan perilaku yang negatif bahkan tidak menyenangkan bagi orang-orang disekitarnya. Pengalaman masa lalu yang tidak dapat diterima secara positif juga memiliki peran dalam memunculkan Iri-Dengki. Sungguh akan mengalami kerugian yang luar biasa bagi individu yang seringkali  mengalami Iri-Dengki dalam hidupnya. Ia akan mengalami kesulitan dalam berpikir, bersikap bahkan berperilaku dan akhirnya dapat menimbulkan penyakit fisik berkepanjangan akibat mengikuti kebusukan dalam hatinya. Selain hatinya yang sakit, tubuhnya pun dapat mengalami sakit yang luar biasa (Gymnastiar, 2006). Individu dengan Iri-Dengki memerlukan obat berupa vitamin ajaib yaitu suplemen tambahan berupa ilmu agama yaitu Latihan untuk meyakini bahwa semua yang datang dari Allah SWT akan kembali kepada Allah SWT, termasuk rejeki dan kebahagiaan bagi setiap manusia dimana saja dan kapan saja Allah SWT berkehendak atas hambaNYA. Seperti apapun usaha individu untuk melaksanakan nafsu Iri-Dengki tidak akan merubah ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT, terlebih lagi jika perilakunya melanggar ajaran agama dan norma social di masyarakat.

DAFTAR REFERENSI

Jalaluddin. Psikologi Agama, Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Cetakan ke-17 Tahun 2015

Ghazali, Muin., Ghazali, Nurseha., Deteksi Kepribadian. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Cetakan Pertama, November 2016

Gymnastiar, Abdullah. Menggapai Qolbun Saliim, Bengkel Hati Menuju Akhlak Mulia. Penerbit Manajemen Qolbu. Cetakan III, Oktober 2006

Arifin, Bambang Syamsul. Psikologi Sosial. Penerbit CV Pustaka Setia. Cetakan I, April 2015

Abdillah, Aufa. Pengaruh Iri Hati Terhadap Munculnya Schadenfraude. Indonesian Journal of Islamic Psychology. Volume 1 Number 2, December 2019.p-ISSN2685-1482, e-ISSN 2714-7576.

http://e-journal.iainsalatiga.ac.id/index.php/ijip/index. Diunduh pada tanggal 30 Juli 2020, pukul 10.30 WIB

Faturochman. Iri dalam Relasi Sosial. Jurnal Psikologi Volume 33, No.1, 1-16. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. ISSN : 0215-8884. Diunduh pada tanggal 30 Juli 2020, pukul 10.30 WIB