Lingkungan hidup merupakan tempat tinggal peradaban manusia yang harus terus menerus dijaga kelestariannya oleh semua ummatmanusia, sebab ia menjadi sumber kehidupan bagi makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang didalamnya, mulai dari manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan keanekaragaman hayati lainnya, larangan agar tidak merusak lingkungan hidup tersebut telah disebutkan dalam Al-Qur’an dengan kalimat janganlah kamu merusak di bumi sesudah Allah memperbaikinya (Al-A’raf : 56).
Namun, seiring perkembangan zaman, lingkungan hidup menjadi korban ekploitasiuntuk memenuhi kebutuhan manusia, bahkan salah salah satu lembaga indenpenden WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyampaikan bahwa Indonesia pada saat ini sudah masuk pada tahap darurat ekologi akibat ketimpangan penguasaan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam istilah sederhana darurat ekologis tersebut adalah situasi atau keadaan genting akibat kerusakan lingkungan hidup yang bersumber dari aktivitas monopoli penguasaan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan yang berdampak pada hilangnya akses masyarakat terhadap sumber penghidupan.
WALHI mencatat telah ada 159.178.237 hektar lahan telah dikapling perizinan yang setara dengan 30.65 % Wilayah Indonesia (darat dan laut), sebaran izin tersebut yaitu 59,77 % berada di darat dan 13,57 % berada di laut (Walhi : 2019). Akibatnya berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 2.175 kali bencana alam di Indonesia, sebagian besar bencana tersebut disebabkan oleh frekuensi angin puting beliung sebagai dampak perubahan iklim dan selebihnya bencana gempa alam serta tanah longsor akibat penggarapan pegunungan dan hutan dengan jumlah yang besar.Kerusakan tersebut sudah masuk pada tahap yang sangat mengkhawatirkan, dimana manusia tidak lagi ragu untuk mengeksploitasi alam dan isinya dengan jumlah yang begitu besar, baik secara legal yang dilakukan oleh korporasi ataupun perusahaan maupun secara illegal yang korporasi yang tidak berizin ataupun secara liar.
Dalam sejarahnya, ekploitasi alam untuk kepentingan manusia dimulai pada abad XVIII oleh masyarakat barat yang memiliki pandangan bahwa kedudukan manusia lebih tinggi dari pada alam, dan pandangan ini menjadi dasar lahirnya antroposentrisme dengan semangat kapitalisme yang digagas oleh Max Weber (Anton Bakker : 1995). Pandangan antroposentrisme dipahami bahwa semua aktivitas alam semesta hanya untuk kepentingan manusia, sebab tidak ada yang lebih berharga daripada kepentingan manusia, pandangan ini banyak mendapat kritikan karena dapat membahayakan ekosistem global dan evolusi kehidupan selanjutnya dibumi yang berakhir dengan dengan bencana ekologis dalam skala besar.
Kejahatan Terhadap Lingkungan Hidup Dalam Hukum Pidana
Ketentuan tentang perlindungan lingkungan hidup diatur dalam Undang – undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lindungan Hidup, pada tahun 1997 UU Nomor 4 tahun 1982 tersebut direvisi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian direvisi kembali pada tahun 2009 dengan lahirnya Udnang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut diatur ketentuan pidana sebagaimana yang dimaksudkan pada pasal 98 dan 99 yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja atau kelalaiannya melakukan :
Perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan orang luka berat atau mati dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (Lima) tahun dan paling lama 15 (Lima Belas) tahun dengan denda paling sedikit Rp. 5.000.000.000,00 (Lima Miliar Rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.00 (Lima Belas Miliar Rupiah) Sedangkan perbuatan yang dilarang terdapat pada pada pasal 100-111, dan pasal 113-115 antara lain :
Kejahatan Terhadap Lingkungan Hidup Dalam Hukum Islam
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa Islam dengan tegas melarang manusia melakukan kerusakan dengan cara apapun terhadap lingkungan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya Al-Qur’an berbicara sampai 16 kali, hal itu dapat ditemukan dalam surat(Al-Baqoroh : 11, 12, 27, 30, 60, 220 dan 251), (Ali Imran : 63), (Al-Maidah : 64), (Al-A’arf : 56, 74,85, 86, 103, 127, 142). Banyaknya ayat yang berbicara tentang lingkungan hidup bertujuan untuk menjelaskan kepada kita bahwa substansi ayat tersebut sangat penting dipelajari dan dilaksanakan (Al-An’am : 55, 105-106).
Selain al-Qur’an, Rasulullah SAW mempertegas anjuran menjaga lingkungan dengan cara mengidupkan tanah mati dan menjaga binatang liar (H.R Ahmad : 4023), bahkan dalam salah satu hadis Allah SWT akan membenamkan kepala kedalam neraka bagi siapa saja yang memotong pohon bidara (HR. Abu Daud : 2135). Mengelola Tanah mati (ihya’ul mawat) yang dimaksud dalam hadis tersebut mengisyaratkan bahwa banyak daratan yang belum dimiliki orang maka boleh untuk dikelola tanpa merusak dasar dan eksosistem tanah tersebut.
Dalam prakteknya, Rasulullah mencontohkan dalam kehidupannya untuk menghemat penggunaan air baik dalam bersuci dari hadas kecil maupun dari hadas besar, dalam sebuah riwayat, Rasulullah berwudhu’ hanya menggunakan air sebanyak satu mud (1,5 liter dalam takaran hijaz/1 gelas air mineral) dan mandi tidak lebih dari lima mud. Hal tersebut mengajarkan kepada kita bahwa penggunaan air tidak boleh secara berlebihan, walaupun banyak kritikan bahwa itu hanya berlaku bagi masyarakat arab yang wilayahnya sedikit sumber air, akan tetapi menurut penulis bahwa dalam hadis fi’litersebut Rasulullah tidak mengutamakan wilayah dan mengecualikan wilayah lain yang berbeda geografis, agar cadangan air dapat tercukupi oleh semua manusia jika terjadi musim kemarau.
Hukum pidana Islam mengatur tentang larangan yang dapat menyebabkan kerusakan di muka bumi, larangan tersebut berdasarkan penafsiran Al-Thabari yang menggolongkan perbuatan yang menyebabkan rusaknya ekosistem lingkungan merupakan perbuatan maksiat karena merusak akal, aqidah, etika pribadi, sosial, kehidupan niaga dan sosial lainnya, dimana Allah telah menciptakannya dengan baik (Al-A’raf : 56). Perbaikan (Ishlah) bagi manusia melalui petunjuk Al-Qur’an dan Hadis terutama dalam memperbaiki akidah, akhlak dan etika yang bertujuan untuk kemaslahatan bagi jiwa dan raga sehingga terbentuk pribadi yang egaliter terhadap lingkungan hidup dimana dia hidup dan tinggal didalamnya.
Kejahatan terhadap lingkungan hidup dalam perspektif Hukum Pidana Islam termasuk kedalam kategori jarimah, dan hukuman bagi pelaku pengerusakan lingkungan hidup termasuk kedalam golongan ta’zir sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan Hadist, namun tidak disebutkan secara eksplisit baik perbuatannya maupun bentuk hukumannya, akan tetapi kewenangannya diserahkan kepada hakim untuk menentukannya sebagaimana bentuk kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatannya tersebut.
Penutup
Kejahatan terhadap lingkungan hidup ditinjau menurut hukum Pidana Islam dan Hukum Nasional yaitu :
Undang-undang no. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memberikan sanksi bagi pelaku pembakar lahan berupa penjara dan denda, dan hukum pidana Islam memberikan hukuman berupa ta’zir dimana kewenangan sepenuhnya ada pada ulil amri dan bentuk ta’zir tersebut yang berupa penjara dan denda merupakan suatu bentuk relevansi dari hukum pidana Islam dan bentuknya dituangkan dalam sebuah undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.